Balada Kusni Kasdut
Ketika mendengar
kata Kusni Kasdut dilafalkan, saya haqqul yakin anda tidak mengenal nama
tersebut dan balik bertanya siapakah gerangan beliau. Wajar bila anda ora reti dengan sosoknya karena Kusni
Kasdut memang tidak seterkenal Chelsea Islan dan Pevita Pearce, atau tak
sepopuler Raisa (nah, kalau ini metode membandingkan yang salah, ora apple to apple). Tapi tenang saja,
ketidaktahuan anda tentang sosok Kusni Kasdut tidak akan berpengaruh banyak.
Lain halnya jika anda tidak mengenal sosok presiden anda. Itu berarti anda
kurang gaul mengingat presiden kita sering blusukan sambil membagi-bagikan uang
tunai dan buku tulis.
Kembali ke sosok
Kusni Kasdut, sejatinya saya juga tidak mengenal sosok tersebut karena kami
memang hidup pada zaman yang berbeda. Generaasi saya adalah generasi Y, yang
lahir pada akhir milenium. Saat ini generasi Y sudah mulai tumbuh menjadi
manusia seutuhnya di era generasi Z yang
opo-opo serba gadget. Kembali pada sosok Kusni Kasdut,
ia hidup pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ia pernah ikut bergerilya pada masa
revolusi fisik. Saat revolusi berakhir, ia mendaftar untuk menjadi tentara
namun tidak diterima karena alasan tinggi badan (waktu itu belum ada Z****h
G**w ) hingga akhirnya ia memilih jalannya sendiri. Pada tahun 1961, saat
negara sedang menerapkan demokrasi terpimpin dengan konsep nasakomnya, Kusni
Kasdut menggegerkan dunia persilatan dengan merampok Monumen Nasional.
Sosok Kusni Kasdut
menjadi terkenal, kondyang jaran layaknya
The Beatles yang berjaya di era 60-an. Ia dikenal sebagai robin hoodnya
Indonesia karena sering membagi-bagikan hasil rampokannya kepada masyarakat
kurang mampu. Keahliannya dalam merampok membuat ia menjadi buronan negara
(bukan buronan mertua). Sempat ditangkap aparat dan mendekam di teralis benci
(istilahnya Vicky Prasetyo), Kusni Kasdut dapat kabur untuk kemudian kembali
berkarya (tentunya sebagai perampok).
Selalu ada akhir
untuk sebuah awal. Kata-kata mutiara ini juga berlaku bagi Kusni Kasdut. Petualangan
Kusni Kasdut sebagai garong harus berakhir ketika ia kembali tertangkap oleh
aparat. Ia kembali masuk teralis benci. Dengan pengawalan ketat ia tidak mampu
untuk melarikan diri dan akhirnya menghadapi meja hijau. Dalam persidangan,
Kusni divonis hukuman mati oleh hakim.
Hari-hari
terakhir Kusni Kasdut tidak seperti para terpidana narkoba di Indonesia.
Berbeda dengan eksekusi mati terpidana
narkoba yang simpang siur dan masih dipersiapkan, Kusni menghadapi regu tembak
dengan pasti. Sebelum dieksekusi, ia menyempatkan diri untuk mengadakan
perjamuan terakhir dengan keluarga. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
perasaan keluarga Kusni Kasdut ketika makan, apakah nikmat atau tidak. Pasti
campur-campur rasanya, mirip koalisi partai politik di Pilpres yang terdiri
dari aneka rupa ideologi.
Akhirnya tiba
saat Kusni Kasdut didor oleh regu tembak. Nasibnya seperti Kahar Muzakar
ataupun Kartosuwiryo. Mereka pernah berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan,
hingga ketika revolusi berakhir mereka memilih berjuang dengan caranya sendiri.
3 orang tersebut akhirnya harus meregang nyawa dengan didor oleh pasukan
Indonesia.
Kisah hidup
Kusni Kasdut memberi pesan moral kepada kita. Kusni Kasdut dapat lari dari
penjara yang dikawal polisi, ia dikenal sebagai sosok licin seperti belut
kecemplung oli. Namun ada satu hal yang tak bisa ia hindari, lari dari
kenyataan. Kenyataan yang membuat Kusni Kasdut menjadi perampok karena ia tak
lulus daptaran tentara setelah
revolusi fisik berakhir. Kenyataan pula yang membuat nyawa Kartosuwiryo
berakhir pada eksekusi yang suratnya ditandatangani oleh rekan satu indekosnya
di rumah HOS Cokroaminoto. Kenyataan juga yang membuat Manchester City juara
Liga Inggris melalui gol Sergio Aguero di menit 93 matchday 38 hingga akhirnya
MU harus gigit jari karena menyangka merekalah yang menjadi juara (lhoh, kok malah nyambung balbalan)
Seperti Kusni Kasdut,
kita tidak bisa lari dari kenyataan. Kenyataan (biasanya pait-pait) memang
harus diterima dengan fair. Menerima kenyataan adalah bagian dari menerima apa
yang digariskan yang diatas, karena sejatinya hidup kita sudah diatur oleh yang
maha kuasa, bukan dewa judi. Biar kelihatan agak berbobot, tulisan ini kami
tutup dengan quote dari TNI AU yang sesuai dengan mazhab kenyataan.
Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk.
Selesai sudah,
aku tetap cinta padamu cyuus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar