Rabu, 30 April 2014

Sepi


Kala mentari datang menyapa
Caci maki sudah menghampiri
Aku terpojok di sudut seppi
Sendiri…
Tanpa ada yang menemani

Saat matahari memanjat dinding langit
Aku pun masih begini
Tak ada yang berganti
Beban semakin memenuhi diri ini

Aku ingin menangis
Menangisi semua ini
Tapi aku yakin
Tak ada yang peduli

Aku ingin berteriak
Memaki semua yang sudah memaki
Tapi sekali lagi
Aku yakin
Tak ka nada yang peduli

Dalam hati ku berbicara
Memendam merupakanlah cara
Aku tak ingin sepi ini
Selalu hinggap di hati 


 @inrafinura

Rabu, 19 Februari 2014

AKU SELALU MENUNGGU MU DISINI


Dalam seluruh diam ku selalu mengagumi mu
Dalam hening aku memikirkan mu
Dalam doa aku merintih mengharapkam diri mu
Dalam kesendirian aku masih terus memuja nama mu.

Namun engkau melepaskan harap Ku
Namun engkau mengabaikan maksud Ku
Namun engkau menelantarkan diri Ku
Namun engkau membiarkan keinginan Ku.

Cukup aku merasa memuja diri mu
Cukup aku merasa memahami diri mu
Cukup aku merasa memparhatikan diri mu
Cukup aku merasa menjadi pelindung bagi mu.

Teruslah mencari dunia engkau sendiri
Teruslah mengejar ambisi engkau sendiri
Teruslah menjalani hidup yang engkau pilih
Teruslah menentukan masa depan engkau sendiri

Disini aku akan menanti mu
Disini aku merindukan mu
Disini aku slalu berdoa untuk mu
Disini aku mengharap kebahagiaan mu.

@anonymous

Sabtu, 11 Januari 2014

Sunrise Merapi, 11 Januari


“Haah,” aku menghembuskan napas.
Di sini lagi aku menginjakkan kaki. Di hamparan butir-butir pasir dan bebatuan tanpa satupun warna hijau tanaman. Di belakangku tampak awan bergerumbul dari kawah di bawah sana, menandakan gunung ini masih dalam keadaan ‘prima’. Di depanku terhampar awan sejauh mata memandang, bak permadani yang menyelimuti permukaan bumi. Dan di penghujung permadani itu, sang mentari tampak malu-malu menyapaku. Hai, sunrise di Puncak Merapi, apa kabarmu hari ini?
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya. Berulang-ulang. Hingga hembusan ketiga, aku  kembali membuka mata. Pemandangan di depanku lagi-lagi mendorongku jauh ke belakang, kembali pada semua memori yang selalu berusaha ku pendam dalam-dalam. Dan dia mulai membuka kotak kenangan itu. Membawaku kembali di saat aku pertama mengenalmu.
Saka, itulah nama yang kau sebutkan saat kita berkenalan dalam sebuah pendakian. Aku tidak tahu apa arti namamu, tapi aku suka sensasi dalam suaraku ketika mengucapkannya. Sampai kau mengatakan Saka berarti dahan, dan aku mengenalkan diriku sebagai Laura yang memiliki arti selembut daun. Dahan dan daun, ya, kita cocok untuk membuatnya menjadi pohon, katamu. Aku tertawa. Kau pun tertawa. Detik berikutnya kita pun bercakap seperti sahabat lama. Benang merah, perlahan tapi pasti mengeratkan ikatannya. Dari sekedar kata-kata, munculah letupan-letupan rasa yang semakin nyata. Dan ketika sadar, aku telah jatuh cinta.
 

Senin, 06 Januari 2014

Sebuah Puisi : Bumi Ini Makin Tua

Bumi Ini Makin Tua

Oleh : @zghll

Bumi ini makin tua
  batuk-batuk bak gunung meletus
  bersin-bersin jadi tsunami

Tubuhnya pun mulai rapuh
  mulai longsor sana sini
  bahkan kadang juga buyutan
  menggoncang manusia dengan gempa

Dan saat waktu terus memakan bumi
  manusia berubah muka jadi pencela
  melihat bumi sebagai bencana

Laknatlah para khalifah itu!
Bukankan bumi tua ini amanah mereka?


Malam menjelang UAS Matematika Ekonomi,
6 Januari 2014