Rabu, 06 Mei 2015



Balada Kusni Kasdut
Ketika mendengar kata Kusni Kasdut dilafalkan, saya haqqul yakin anda tidak mengenal nama tersebut dan balik bertanya siapakah gerangan beliau. Wajar bila anda ora reti dengan sosoknya karena Kusni Kasdut memang tidak seterkenal Chelsea Islan dan Pevita Pearce, atau tak sepopuler Raisa (nah, kalau ini metode membandingkan yang salah, ora apple to apple). Tapi tenang saja, ketidaktahuan anda tentang sosok Kusni Kasdut tidak akan berpengaruh banyak. Lain halnya jika anda tidak mengenal sosok presiden anda. Itu berarti anda kurang gaul mengingat presiden kita sering blusukan sambil membagi-bagikan uang tunai dan buku tulis.
Kembali ke sosok Kusni Kasdut, sejatinya saya juga tidak mengenal sosok tersebut karena kami memang hidup pada zaman yang berbeda. Generaasi saya adalah generasi Y, yang lahir pada akhir milenium. Saat ini generasi Y sudah mulai tumbuh menjadi manusia seutuhnya di era generasi Z yang  opo-opo serba gadget. Kembali pada sosok Kusni Kasdut, ia hidup pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ia pernah ikut bergerilya pada masa revolusi fisik. Saat revolusi berakhir, ia mendaftar untuk menjadi tentara namun tidak diterima karena alasan tinggi badan (waktu itu belum ada Z****h G**w ) hingga akhirnya ia memilih jalannya sendiri. Pada tahun 1961, saat negara sedang menerapkan demokrasi terpimpin dengan konsep nasakomnya, Kusni Kasdut menggegerkan dunia persilatan dengan merampok Monumen Nasional.
Sosok Kusni Kasdut menjadi terkenal, kondyang jaran layaknya The Beatles yang berjaya di era 60-an. Ia dikenal sebagai robin hoodnya Indonesia karena sering membagi-bagikan hasil rampokannya kepada masyarakat kurang mampu. Keahliannya dalam merampok membuat ia menjadi buronan negara (bukan buronan mertua). Sempat ditangkap aparat dan mendekam di teralis benci (istilahnya Vicky Prasetyo), Kusni Kasdut dapat kabur untuk kemudian kembali berkarya (tentunya sebagai perampok).
Selalu ada akhir untuk sebuah awal. Kata-kata mutiara ini juga berlaku bagi Kusni Kasdut. Petualangan Kusni Kasdut sebagai garong harus berakhir ketika ia kembali tertangkap oleh aparat. Ia kembali masuk teralis benci. Dengan pengawalan ketat ia tidak mampu untuk melarikan diri dan akhirnya menghadapi meja hijau. Dalam persidangan, Kusni divonis hukuman mati oleh hakim. 
Hari-hari terakhir Kusni Kasdut tidak seperti para terpidana narkoba di Indonesia. Berbeda  dengan eksekusi mati terpidana narkoba yang simpang siur dan masih dipersiapkan, Kusni menghadapi regu tembak dengan pasti. Sebelum dieksekusi, ia menyempatkan diri untuk mengadakan perjamuan terakhir dengan keluarga. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga Kusni Kasdut ketika makan, apakah nikmat atau tidak. Pasti campur-campur rasanya, mirip koalisi partai politik di Pilpres yang terdiri dari aneka rupa ideologi.
Akhirnya tiba saat Kusni Kasdut didor oleh regu tembak. Nasibnya seperti Kahar Muzakar ataupun Kartosuwiryo. Mereka pernah berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan, hingga ketika revolusi berakhir mereka memilih berjuang dengan caranya sendiri. 3 orang tersebut akhirnya harus meregang nyawa dengan didor oleh pasukan Indonesia.
Kisah hidup Kusni Kasdut memberi pesan moral kepada kita. Kusni Kasdut dapat lari dari penjara yang dikawal polisi, ia dikenal sebagai sosok licin seperti belut kecemplung oli. Namun ada satu hal yang tak bisa ia hindari, lari dari kenyataan. Kenyataan yang membuat Kusni Kasdut menjadi perampok karena ia tak lulus daptaran tentara setelah revolusi fisik berakhir. Kenyataan pula yang membuat nyawa Kartosuwiryo berakhir pada eksekusi yang suratnya ditandatangani oleh rekan satu indekosnya di rumah HOS Cokroaminoto. Kenyataan juga yang membuat Manchester City juara Liga Inggris melalui gol Sergio Aguero di menit 93 matchday 38 hingga akhirnya MU harus gigit jari karena menyangka merekalah yang  menjadi juara (lhoh, kok malah nyambung balbalan)
Seperti Kusni Kasdut, kita tidak bisa lari dari kenyataan. Kenyataan (biasanya pait-pait) memang harus diterima dengan fair. Menerima kenyataan adalah bagian dari menerima apa yang digariskan yang diatas, karena sejatinya hidup kita sudah diatur oleh yang maha kuasa, bukan dewa judi. Biar kelihatan agak berbobot, tulisan ini kami tutup dengan quote dari TNI AU yang sesuai dengan mazhab kenyataan.
Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk.

Selesai sudah, aku tetap cinta padamu cyuus

Senin, 20 April 2015


SEKUAT KAYU JATI
By: JojoHye-Xung

Rapuh dan keropos
Sungguh menyebalkan
Aku kayu mahoni
Hanya mampu berhasrat
Untuk sekuat kayu jati
Jadi anak panah yang melesat tajam membelah angin
Aku juga ingin terbang melandas dari gendewa Arjuna
Memporakporanda padang Kurushetra
Tapi aku hanya kayu mahoni
Cukup ditup langsung limbung

Ibu, takdir atau nasib yang lebih kejam?
Cita-citaku tak dapat teraih
Ibu, apa beda menyerah dan putus asa?
Lalu, kisahkan tentang berjuang dan tawakal, Ibu
Segala yang aku tak mengerti dalam hidup

“Nak,” jawab Ibu, “hidup adalah dirimu.”
“Hidup adalah kau yang genggam, dan Tuhan adalah hakim yang adil.”
Ibu bercerita bahwa semua tidak mungkin akan nyata
Cukup dan yang mampu
Menjadi bijak lebih baik dan terhormat

Sabtu, 18 April 2015

Rabu, 30 April 2014

Sepi


Kala mentari datang menyapa
Caci maki sudah menghampiri
Aku terpojok di sudut seppi
Sendiri…
Tanpa ada yang menemani

Saat matahari memanjat dinding langit
Aku pun masih begini
Tak ada yang berganti
Beban semakin memenuhi diri ini

Aku ingin menangis
Menangisi semua ini
Tapi aku yakin
Tak ada yang peduli

Aku ingin berteriak
Memaki semua yang sudah memaki
Tapi sekali lagi
Aku yakin
Tak ka nada yang peduli

Dalam hati ku berbicara
Memendam merupakanlah cara
Aku tak ingin sepi ini
Selalu hinggap di hati 


 @inrafinura

Rabu, 19 Februari 2014

AKU SELALU MENUNGGU MU DISINI


Dalam seluruh diam ku selalu mengagumi mu
Dalam hening aku memikirkan mu
Dalam doa aku merintih mengharapkam diri mu
Dalam kesendirian aku masih terus memuja nama mu.

Namun engkau melepaskan harap Ku
Namun engkau mengabaikan maksud Ku
Namun engkau menelantarkan diri Ku
Namun engkau membiarkan keinginan Ku.

Cukup aku merasa memuja diri mu
Cukup aku merasa memahami diri mu
Cukup aku merasa memparhatikan diri mu
Cukup aku merasa menjadi pelindung bagi mu.

Teruslah mencari dunia engkau sendiri
Teruslah mengejar ambisi engkau sendiri
Teruslah menjalani hidup yang engkau pilih
Teruslah menentukan masa depan engkau sendiri

Disini aku akan menanti mu
Disini aku merindukan mu
Disini aku slalu berdoa untuk mu
Disini aku mengharap kebahagiaan mu.

@anonymous

Sabtu, 11 Januari 2014

Sunrise Merapi, 11 Januari


“Haah,” aku menghembuskan napas.
Di sini lagi aku menginjakkan kaki. Di hamparan butir-butir pasir dan bebatuan tanpa satupun warna hijau tanaman. Di belakangku tampak awan bergerumbul dari kawah di bawah sana, menandakan gunung ini masih dalam keadaan ‘prima’. Di depanku terhampar awan sejauh mata memandang, bak permadani yang menyelimuti permukaan bumi. Dan di penghujung permadani itu, sang mentari tampak malu-malu menyapaku. Hai, sunrise di Puncak Merapi, apa kabarmu hari ini?
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya. Berulang-ulang. Hingga hembusan ketiga, aku  kembali membuka mata. Pemandangan di depanku lagi-lagi mendorongku jauh ke belakang, kembali pada semua memori yang selalu berusaha ku pendam dalam-dalam. Dan dia mulai membuka kotak kenangan itu. Membawaku kembali di saat aku pertama mengenalmu.
Saka, itulah nama yang kau sebutkan saat kita berkenalan dalam sebuah pendakian. Aku tidak tahu apa arti namamu, tapi aku suka sensasi dalam suaraku ketika mengucapkannya. Sampai kau mengatakan Saka berarti dahan, dan aku mengenalkan diriku sebagai Laura yang memiliki arti selembut daun. Dahan dan daun, ya, kita cocok untuk membuatnya menjadi pohon, katamu. Aku tertawa. Kau pun tertawa. Detik berikutnya kita pun bercakap seperti sahabat lama. Benang merah, perlahan tapi pasti mengeratkan ikatannya. Dari sekedar kata-kata, munculah letupan-letupan rasa yang semakin nyata. Dan ketika sadar, aku telah jatuh cinta.
 

Senin, 06 Januari 2014

Sebuah Puisi : Bumi Ini Makin Tua

Bumi Ini Makin Tua

Oleh : @zghll

Bumi ini makin tua
  batuk-batuk bak gunung meletus
  bersin-bersin jadi tsunami

Tubuhnya pun mulai rapuh
  mulai longsor sana sini
  bahkan kadang juga buyutan
  menggoncang manusia dengan gempa

Dan saat waktu terus memakan bumi
  manusia berubah muka jadi pencela
  melihat bumi sebagai bencana

Laknatlah para khalifah itu!
Bukankan bumi tua ini amanah mereka?


Malam menjelang UAS Matematika Ekonomi,
6 Januari 2014