Sabtu, 11 Januari 2014

Sunrise Merapi, 11 Januari


“Haah,” aku menghembuskan napas.
Di sini lagi aku menginjakkan kaki. Di hamparan butir-butir pasir dan bebatuan tanpa satupun warna hijau tanaman. Di belakangku tampak awan bergerumbul dari kawah di bawah sana, menandakan gunung ini masih dalam keadaan ‘prima’. Di depanku terhampar awan sejauh mata memandang, bak permadani yang menyelimuti permukaan bumi. Dan di penghujung permadani itu, sang mentari tampak malu-malu menyapaku. Hai, sunrise di Puncak Merapi, apa kabarmu hari ini?
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya. Berulang-ulang. Hingga hembusan ketiga, aku  kembali membuka mata. Pemandangan di depanku lagi-lagi mendorongku jauh ke belakang, kembali pada semua memori yang selalu berusaha ku pendam dalam-dalam. Dan dia mulai membuka kotak kenangan itu. Membawaku kembali di saat aku pertama mengenalmu.
Saka, itulah nama yang kau sebutkan saat kita berkenalan dalam sebuah pendakian. Aku tidak tahu apa arti namamu, tapi aku suka sensasi dalam suaraku ketika mengucapkannya. Sampai kau mengatakan Saka berarti dahan, dan aku mengenalkan diriku sebagai Laura yang memiliki arti selembut daun. Dahan dan daun, ya, kita cocok untuk membuatnya menjadi pohon, katamu. Aku tertawa. Kau pun tertawa. Detik berikutnya kita pun bercakap seperti sahabat lama. Benang merah, perlahan tapi pasti mengeratkan ikatannya. Dari sekedar kata-kata, munculah letupan-letupan rasa yang semakin nyata. Dan ketika sadar, aku telah jatuh cinta.
 

Kata-kata tak pernah cukup membantuku untuk menggambarkanmu. Kau tampan dan menarik tentu saja, tapi kau lebih dari itu. Kau adalah anugrah semesta yang membuatku enggan mengedipkan mata. Badanmu tinggi tegap, menegaskan banyak gunung yang telah kau taklukan. Kulitmu cokelat keemasan karena sinar mentari yang memanjakan. Rambutmu hitam ikal seperti ombak samudra dalam malam yang kelam. Rahangmu yang kukuh, hidung jauh dari pesek, dan setiap lekukan di wajahmu, bagiku adalah sebuah lukisan seluruh semesta jadi satu. Lalu mata itu, yang selalu jadi favoritku, bagaikan matahari terbit yang menghangatkan hati siapa saja yang menatapnya. Dan dibalik semua kilauan fisik, tersimpan hati selembut bola-bola awan di angkasa. Tak heran banyak wanita yang mengantri untuk berkencan denganmu. Tapi sampai detik ini aku masih tak mengerti, dari sekian banyak wanita yang ada, kenapa pilihanmu jatuh padaku.
Sunrise Merapi 11 Januari 2009, menjadi saksi keberhasilan pertamaku menginjakkan kaki di puncak ini. Aku sedang mengagumi panorama yang sama seperti hari ini, ketika kau menghampiriku dan mengajakku bicara. Sejauh ingatanku, kata-katamu rancu tak tertata dan membuatku tertawa. Tapi raut wajahmu tegas menunjukkan keseriusan yang membuatku terdiam. Dan mata itu, ah ya. Mata itu membuat hatiku serasa meleleh dengan pancaran kejujurannya. Hingga akhirnya aku mengiyakan pernyataanmu dan sunrise yang malu-malu pun menjadi saksi dua insan manusia yang sedang kasmaran.
Hari-hari pun bergulir. Aku dan kamu kini menjadi kita. Semakin banyak pula waktu yang terlewati bersama. Aku tahu kau suka petualangan, dan kau bilang itu adalah sumber kehidupanmu. Banyak kisah dari pengalamanmu mengalahkan gunung, menjinakkan arus sungai, hingga mengarungi goa-goa bawah tanah yang senantiasa kau ceritakan padaku. Sering aku kehabisan kata mendengar setiap kisah petualanganmu. Takjub dan berharap aku juga ada di sana. Dan kemudian aku akan mengira-ngira, butuh berapa besar keangkuhan alam untuk membuatmu bertekuk lutut.
“Saka, apa arti alam ini bagimu?” tanyaku suatu hari kepadamu.
“Dia sudah seperti ibu yang melahirkanku, dan ayah yang membesarkanku,” jawabanmu tegas seperti biasa.
“Jadi... Kalau alam sudah kau anggap ibu dan ayahmu sendiri, lalu aku ini apa?” tanyaku mencoba menggoda.
 “Hmm.. Pertanyaan bagus. Kalau begitu maukah kau jadi matahari yang menemani hingga akhir hidupku?”
Kata-katamu membuat kakiku serasa tak lagi menjejak tanah. Aku pun tersenyum lebar dan mengangguk, disambut tawa bahagiamu. Kemudian kau pun merengkuhku dalam pelukan, dan menciumku. Saat itu pula bibirku merasa ada di tempat yang tepat, hingga aku betah berlama-lama di sana. Ya, Saka. Aku akan menjadi matahari untuk semestamu. Dan ketika kau menjatuhkan pilihan padaku, semesta pun serasa ada dalam genggaman tanganku. Setidaknya sampai hari itu.
Awan mendung menggantung di langit sore Januari. Hari itu kau berjanji akan datang ke rumah setelah beberapa minggu kau menghilang di hutan Papua Nugini. Dan tahukah engkau, dalam beberapa minggu itu rinduku telah mengalahkan tinggi Puncak Semeru? Aku harap semua itu akan terbayar dengan perayaan hari jadi kedua ini. Namun Sang Pencipta agaknya memiliki rencana lain. Dan aku harus menahan semua rasa rindu itu hingga detik ini.
Sore itu dalam ujung penantianku, yang datang bukanlah kamu. Melainkan sebuah sms yang menyambar bagaikan petir. Meruntuhkan semua harapan dan mematikan panca indra. Aku tak lagi bisa merasakan sedih, terpukul, atau menangis. Semua rasa itu kadaluarsa. Aku kebas. Tak bisa merasakan apa-apa. Hingga kemudian semuanya menjadi gelap, dan aku tenggelam di dalamnya.

Kris
11/01/2011
05.15 p.m.
Saka mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit. Tapi terlalu banyak darah yang hilang. Segalanya telah dicoba, tapi semuanya percuma. Maaf, Laura... Saka... meninggal dunia.

            Aku mengambil napas lagi dan menghembuskannya. Tiga tahun sudah, tapi rasa perih itu masih saja menusuk-nusuk di dada. Memang, butuh waktu berminggu-minggu untuk membuatku bangkit kembali dari keterpurukan itu. Bahkan sempat terpikir pula untuk mengakhiri penderitaan atas kehilanganmu pada sebilah pisau di atas nadiku. Tapi aku tahu itu bodoh dan jika kau melihatku, kau pasti akan menobatkanku jadi idiot abad 21.
            Tiga tahun sudah. Aku memilih meneruskan hidup. Bukan hal mudah untuk terus melangkah tapi bukan berarti aku akan menyerah. Memikirkan masalalu tak selalu membuatku sedih, karena lebih banyak kesenangan yang kita lakukan. Selain itu aku juga menganggap kematianmu sebagai sisi lain selera humoris-Nya. Kau, sang penakluk gunung dan sungai, mati hanya karena sebuah kecelakaan mobil. Lucu. Aku pun tertawa. Sunrise di depanku pun ikut tertawa, menyala dengan sinarnya. Dan jika kau di sini bersamaku, pasti kita bersama-sama menertawakannya.
            Aku mengambil napas lagi dan menghembuskannya. Seseorang menepuk pundakku.
            “Kris,” aku bergumam menyebut nama itu.
    “Saatnya pergi, Laura,” kata Kris sambil mengembangkan senyum. Mengamit tanganku, menggenggamnya. Aku pun mengumpulkan kekuatan. Kemudian menggenggam balik tangan itu, erat.
            “Ya,” ucapku sambil tersenyum dan beranjak pergi.
           Sampai jumpa lagi, Saka. Kematianmu bukan berarti aku melupakanmu. Aku akan hidup. Menikmati segala rencana dan selera humor-Nya. Dia yang maha membolak-baikan hati. Dia yang maha mengatur kehidupan. Dia, yang memberikan kesempatan kita untuk bersama. Untuk-Nya, kuucapkan terima kasih tiada tara. Setiap detik dan dalam setiap hembusan napas.


Muntilan, 11 Januari 2014
@zghll
1001 kata.

1 komentar: