“Haah,” aku menghembuskan napas.
Di sini lagi aku menginjakkan kaki. Di hamparan butir-butir
pasir dan bebatuan tanpa satupun warna hijau tanaman. Di belakangku tampak awan
bergerumbul dari kawah di bawah sana, menandakan gunung ini masih dalam keadaan
‘prima’. Di depanku terhampar awan sejauh mata memandang, bak permadani yang
menyelimuti permukaan bumi. Dan di penghujung permadani itu, sang mentari
tampak malu-malu menyapaku. Hai, sunrise
di Puncak Merapi, apa kabarmu hari ini?
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, dan
menghembuskannya. Berulang-ulang. Hingga hembusan ketiga, aku kembali membuka mata. Pemandangan di depanku
lagi-lagi mendorongku jauh ke belakang, kembali pada semua memori yang selalu
berusaha ku pendam dalam-dalam. Dan dia mulai membuka kotak kenangan itu. Membawaku
kembali di saat aku pertama mengenalmu.
Saka, itulah nama yang kau sebutkan saat kita berkenalan dalam
sebuah pendakian. Aku tidak tahu apa arti namamu, tapi aku suka sensasi dalam
suaraku ketika mengucapkannya. Sampai kau mengatakan Saka berarti dahan, dan
aku mengenalkan diriku sebagai Laura yang memiliki arti selembut daun. Dahan
dan daun, ya, kita cocok untuk membuatnya menjadi pohon, katamu. Aku tertawa. Kau
pun tertawa. Detik berikutnya kita pun bercakap seperti sahabat lama. Benang
merah, perlahan tapi pasti mengeratkan ikatannya. Dari sekedar kata-kata,
munculah letupan-letupan rasa yang semakin nyata. Dan ketika sadar, aku telah
jatuh cinta.
Kata-kata tak pernah cukup membantuku untuk menggambarkanmu. Kau
tampan dan menarik tentu saja, tapi kau lebih dari itu. Kau adalah anugrah semesta
yang membuatku enggan mengedipkan mata. Badanmu tinggi tegap, menegaskan banyak
gunung yang telah kau taklukan. Kulitmu cokelat keemasan karena sinar mentari
yang memanjakan. Rambutmu hitam ikal seperti ombak samudra dalam malam yang
kelam. Rahangmu yang kukuh, hidung jauh dari pesek, dan setiap lekukan di
wajahmu, bagiku adalah sebuah lukisan seluruh semesta jadi satu. Lalu mata itu,
yang selalu jadi favoritku, bagaikan matahari terbit yang menghangatkan hati
siapa saja yang menatapnya. Dan dibalik semua kilauan fisik, tersimpan hati
selembut bola-bola awan di angkasa. Tak heran banyak wanita yang mengantri
untuk berkencan denganmu. Tapi sampai detik ini aku masih tak mengerti, dari
sekian banyak wanita yang ada, kenapa pilihanmu jatuh padaku.
Sunrise Merapi 11 Januari 2009, menjadi saksi keberhasilan pertamaku
menginjakkan kaki di puncak ini. Aku sedang mengagumi panorama yang sama
seperti hari ini, ketika kau menghampiriku dan mengajakku bicara. Sejauh
ingatanku, kata-katamu rancu tak tertata dan membuatku tertawa. Tapi raut
wajahmu tegas menunjukkan keseriusan yang membuatku terdiam. Dan mata itu, ah
ya. Mata itu membuat hatiku serasa meleleh dengan pancaran kejujurannya. Hingga
akhirnya aku mengiyakan pernyataanmu dan sunrise
yang malu-malu pun menjadi saksi dua insan manusia yang sedang kasmaran.
Hari-hari pun bergulir. Aku dan kamu
kini menjadi kita. Semakin banyak pula waktu yang terlewati bersama. Aku tahu
kau suka petualangan, dan kau bilang itu adalah sumber kehidupanmu. Banyak
kisah dari pengalamanmu mengalahkan gunung, menjinakkan arus sungai, hingga
mengarungi goa-goa bawah tanah yang senantiasa kau ceritakan padaku. Sering aku
kehabisan kata mendengar setiap kisah petualanganmu. Takjub dan berharap aku
juga ada di sana. Dan kemudian aku akan mengira-ngira, butuh berapa besar
keangkuhan alam untuk membuatmu bertekuk lutut.
“Saka, apa arti alam ini bagimu?” tanyaku
suatu hari kepadamu.
“Dia sudah seperti ibu yang
melahirkanku, dan ayah yang membesarkanku,” jawabanmu tegas seperti biasa.
“Jadi... Kalau alam sudah kau anggap
ibu dan ayahmu sendiri, lalu aku ini apa?” tanyaku mencoba menggoda.
“Hmm.. Pertanyaan bagus. Kalau begitu maukah
kau jadi matahari yang menemani hingga akhir hidupku?”
Kata-katamu membuat kakiku serasa tak
lagi menjejak tanah. Aku pun tersenyum lebar dan mengangguk, disambut tawa
bahagiamu. Kemudian kau pun merengkuhku dalam pelukan, dan menciumku. Saat itu
pula bibirku merasa ada di tempat yang tepat, hingga aku betah berlama-lama di
sana. Ya, Saka. Aku akan menjadi matahari untuk semestamu. Dan ketika kau
menjatuhkan pilihan padaku, semesta pun serasa ada dalam genggaman tanganku. Setidaknya
sampai hari itu.
Awan mendung menggantung di langit
sore Januari. Hari itu kau berjanji akan datang ke rumah setelah beberapa minggu
kau menghilang di hutan Papua Nugini. Dan tahukah engkau, dalam beberapa minggu
itu rinduku telah mengalahkan tinggi Puncak Semeru? Aku harap semua itu akan
terbayar dengan perayaan hari jadi kedua ini. Namun Sang Pencipta agaknya
memiliki rencana lain. Dan aku harus menahan semua rasa rindu itu hingga detik
ini.
Sore itu dalam ujung penantianku,
yang datang bukanlah kamu. Melainkan sebuah sms
yang menyambar bagaikan petir. Meruntuhkan semua harapan dan mematikan panca
indra. Aku tak lagi bisa merasakan sedih, terpukul, atau menangis. Semua rasa
itu kadaluarsa. Aku kebas. Tak bisa merasakan apa-apa. Hingga kemudian semuanya
menjadi gelap, dan aku tenggelam di dalamnya.
Kris
11/01/2011
05.15 p.m.
Saka mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit. Tapi
terlalu banyak darah yang hilang. Segalanya telah dicoba, tapi semuanya percuma.
Maaf, Laura... Saka... meninggal dunia.
Aku mengambil napas lagi dan
menghembuskannya. Tiga tahun sudah, tapi rasa perih itu masih saja
menusuk-nusuk di dada. Memang, butuh waktu berminggu-minggu untuk membuatku
bangkit kembali dari keterpurukan itu. Bahkan sempat terpikir pula untuk
mengakhiri penderitaan atas kehilanganmu pada sebilah pisau di atas nadiku. Tapi
aku tahu itu bodoh dan jika kau melihatku, kau pasti akan menobatkanku jadi
idiot abad 21.
Tiga tahun sudah. Aku memilih
meneruskan hidup. Bukan hal mudah untuk terus melangkah tapi bukan berarti aku
akan menyerah. Memikirkan masalalu tak selalu membuatku sedih, karena lebih
banyak kesenangan yang kita lakukan. Selain itu aku juga menganggap kematianmu
sebagai sisi lain selera humoris-Nya. Kau, sang penakluk gunung dan sungai,
mati hanya karena sebuah kecelakaan mobil. Lucu. Aku pun tertawa. Sunrise di
depanku pun ikut tertawa, menyala dengan sinarnya. Dan jika kau di sini
bersamaku, pasti kita bersama-sama menertawakannya.
Aku mengambil napas lagi dan
menghembuskannya. Seseorang menepuk pundakku.
“Kris,” aku bergumam menyebut nama
itu.
“Saatnya pergi, Laura,” kata Kris
sambil mengembangkan senyum. Mengamit tanganku, menggenggamnya. Aku pun
mengumpulkan kekuatan. Kemudian menggenggam balik tangan itu, erat.
“Ya,” ucapku sambil tersenyum dan
beranjak pergi.
Sampai jumpa lagi, Saka. Kematianmu
bukan berarti aku melupakanmu. Aku akan hidup. Menikmati segala rencana dan
selera humor-Nya. Dia yang maha membolak-baikan hati. Dia yang maha mengatur
kehidupan. Dia, yang memberikan kesempatan kita untuk bersama. Untuk-Nya,
kuucapkan terima kasih tiada tara. Setiap detik dan dalam setiap hembusan napas.
Muntilan,
11 Januari 2014
@zghll
1001
kata.
tulisanmu mengagumkan dan nakal :3
BalasHapus