Sabtu, 11 Januari 2014

Sunrise Merapi, 11 Januari


“Haah,” aku menghembuskan napas.
Di sini lagi aku menginjakkan kaki. Di hamparan butir-butir pasir dan bebatuan tanpa satupun warna hijau tanaman. Di belakangku tampak awan bergerumbul dari kawah di bawah sana, menandakan gunung ini masih dalam keadaan ‘prima’. Di depanku terhampar awan sejauh mata memandang, bak permadani yang menyelimuti permukaan bumi. Dan di penghujung permadani itu, sang mentari tampak malu-malu menyapaku. Hai, sunrise di Puncak Merapi, apa kabarmu hari ini?
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya. Berulang-ulang. Hingga hembusan ketiga, aku  kembali membuka mata. Pemandangan di depanku lagi-lagi mendorongku jauh ke belakang, kembali pada semua memori yang selalu berusaha ku pendam dalam-dalam. Dan dia mulai membuka kotak kenangan itu. Membawaku kembali di saat aku pertama mengenalmu.
Saka, itulah nama yang kau sebutkan saat kita berkenalan dalam sebuah pendakian. Aku tidak tahu apa arti namamu, tapi aku suka sensasi dalam suaraku ketika mengucapkannya. Sampai kau mengatakan Saka berarti dahan, dan aku mengenalkan diriku sebagai Laura yang memiliki arti selembut daun. Dahan dan daun, ya, kita cocok untuk membuatnya menjadi pohon, katamu. Aku tertawa. Kau pun tertawa. Detik berikutnya kita pun bercakap seperti sahabat lama. Benang merah, perlahan tapi pasti mengeratkan ikatannya. Dari sekedar kata-kata, munculah letupan-letupan rasa yang semakin nyata. Dan ketika sadar, aku telah jatuh cinta.
 

Senin, 06 Januari 2014

Sebuah Puisi : Bumi Ini Makin Tua

Bumi Ini Makin Tua

Oleh : @zghll

Bumi ini makin tua
  batuk-batuk bak gunung meletus
  bersin-bersin jadi tsunami

Tubuhnya pun mulai rapuh
  mulai longsor sana sini
  bahkan kadang juga buyutan
  menggoncang manusia dengan gempa

Dan saat waktu terus memakan bumi
  manusia berubah muka jadi pencela
  melihat bumi sebagai bencana

Laknatlah para khalifah itu!
Bukankan bumi tua ini amanah mereka?


Malam menjelang UAS Matematika Ekonomi,
6 Januari 2014