“Haah,” aku menghembuskan napas.
Di sini lagi aku menginjakkan kaki. Di hamparan butir-butir
pasir dan bebatuan tanpa satupun warna hijau tanaman. Di belakangku tampak awan
bergerumbul dari kawah di bawah sana, menandakan gunung ini masih dalam keadaan
‘prima’. Di depanku terhampar awan sejauh mata memandang, bak permadani yang
menyelimuti permukaan bumi. Dan di penghujung permadani itu, sang mentari
tampak malu-malu menyapaku. Hai, sunrise
di Puncak Merapi, apa kabarmu hari ini?
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, dan
menghembuskannya. Berulang-ulang. Hingga hembusan ketiga, aku kembali membuka mata. Pemandangan di depanku
lagi-lagi mendorongku jauh ke belakang, kembali pada semua memori yang selalu
berusaha ku pendam dalam-dalam. Dan dia mulai membuka kotak kenangan itu. Membawaku
kembali di saat aku pertama mengenalmu.
Saka, itulah nama yang kau sebutkan saat kita berkenalan dalam
sebuah pendakian. Aku tidak tahu apa arti namamu, tapi aku suka sensasi dalam
suaraku ketika mengucapkannya. Sampai kau mengatakan Saka berarti dahan, dan
aku mengenalkan diriku sebagai Laura yang memiliki arti selembut daun. Dahan
dan daun, ya, kita cocok untuk membuatnya menjadi pohon, katamu. Aku tertawa. Kau
pun tertawa. Detik berikutnya kita pun bercakap seperti sahabat lama. Benang
merah, perlahan tapi pasti mengeratkan ikatannya. Dari sekedar kata-kata,
munculah letupan-letupan rasa yang semakin nyata. Dan ketika sadar, aku telah
jatuh cinta.